Sabtu, 21 Desember 2013

Perbedaan mekanisme berlakunya Black Hole Theory di Kota Jakarta dan Kota Yogyakarta



Black hole theory atau teori lubang hitam menjelaskan tentang masalah transportasi seperti kemacetan di suatu wilayah. Dalam proses mengatasi kemacetan di suatu wilayah, misal di bangun penambahan jalur jalan, pembangunan jalan tol, jalan layang, perbaikan jaringan jalan, menciptakan system lalu lintas yang efisien, dan lain-lain. Namun upaya untuk mengurangi kemacetan tetap tidak berhasil. Artinya kemacetan tetap muncul sekalipun sudah dicari berbagai solusi yang dikira tepat untuk bisa mengurai adanya kemacetan. Munculnya kembali kemacetan tersebut adalah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena pengaruh intensitas aktivitas di kota tersebut, kepadatan kota tersebut, kepadatan kendaraan yang tinggi di kota tersebut, kualitas jalan yang buruk, dan lain sebagainya yang menyebabkan kemacetan sulit untuk diatasi.
Kota Jakarta sebagai kota metropolitan memiliki beragam masalah mengenai transportasi, antara lain adalah kemacetan lalu lintas, pelayanan dan kondisi angkutan umum yang masih belum memenuhi harapan masyarakat, masalah tarif angkutan umum yang seringkali kontradiktif, tingkat pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas yang relatif masih tinggi, perilaku sebagian besar pengguna jalan yang belum tertib/tidak disiplin, masalah parkir kendaraan yang belum memadai dan tidak tertib, penyalahgunaan badan jalan untuk parkir dan pedagang kaki lima, masalah aksesibilitas bagi penyandang cacat pada sarana prasarana transportasi, serta masalah transportasi lainnya. Berbagai masalah tersebut saling berkorelasi sehingga menyebabkan masalah transportasi DKI Jakarta menjadi semakin kompleks.
Dari berbagai masalah transportasi tersebut, yang paling dirasakan saat ini adalah masalah kemacetan lalu lintas. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (dan Pemerintah Pusat) dalam pengendalian kemacetan lalu lintas, seperti antara lain: pemberlakuan jalur three in one pada jam-jam tertentu di ruas jalan tertentu, pembangunan simpang susun (fly over) dan under pass di persimpangan jalan, penyelenggaraan angkutan massal dengan sistem jalur khusus bus (bus way), penyesuaian jam masuk kerja dan jam masuk sekolah, dan peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana lalu lintas. Namun berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut belum mampu mengendalikan kemacetan lalu lintas Kota Jakarta, bahkan yang terjadi sebaliknya tingkat kemacetan lalu lintas tampaknya semakin parah. Banyak faktor penyebab timbulnya kemacetan lalu lintas di Kota Jakarta. Namun secara eksplisit terlihat bahwa penyebab utama kemacetan lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor terutama kendaraan bermotor pribadi yang semakin banyak dan mobilitasnya (penggunaannya) yang semakin tinggi dari segi ruang dan waktu.
Dari berbagai masalah tersebut, sekalipun telah dilakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan, tetap saja kemacetan masih terlihat jelas di Jakarta. Munculnya kemacetan itu sekalipun telah dicari jalan keluarnya adalah karena berbagai faktor ibukota Jakarta, antara lain :
1.       Kebijakan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta,
Ditinjau dari karakteristik fungsi kota, telah terjadi pergeseran (pembauran) fungsi Kota Jakarta dari fungsi sebagai Ibukota Negara (Capital City) menjadi sebuah Kota Jasa (Service City) dengan fungsi yang jamak (multi function city) berbaur antara kegiatan (penggunaan lahan) politik, sosial, budaya, ekonomi (perdagangan dan jasa) yang terus meningkat. Peluang kerja senantiasa terbuka sehingga pendatang terus bertambah. Pengguna jalan semakin padat dan mobilitasnya semakin tinggi secara ruang dan waktu
2.       Kondisi Angkutan Umum,
Dapat diidentifikasi sekurang-kurangnya harapan masyarakat terhadap angkutan umum adalah: aman (safety and secure), nyaman (a.l.: bersih, tidak pengap, tidak berdesakan), tarif terjangkau (tarif yang pantas), tepat waktu (on schedule), bahkan door to door (sedikit mungkin pergantian moda angkutan). Perilaku masyarakat terhadap aktivitas perjalanan digambarkan oleh John Black a traveller will patronise the transport mode (or combination of modes) and route which takes the shortest travel time or costs the least from origin to destination. Secara faktual kondisi angkutan umum di Jakarta masih belum memenuhi harapan masyarakat tersebut.
3.      Karakter Sosial Budaya Masyarakat,
Masalah transportasi perkotaan dalam hal ini kemacetan lalulintas menjadi lebih kompleks karena tidak hanya disebabkan faktor-faktor sebagaimana diungkapkan di atas, namun juga saling mempengaruhi dengan faktor sosial budaya dan/atau perilaku masyarakat kota. Dengan kondisi sarana angkutan umum yang belum memadai, mendorong masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Sementara dari sisi sosial budaya, keinginan seseorang untuk memiliki kendaraan pribadi sedikit banyak dipengaruhi adanya pandangan bahwa memiliki kendaraan bermotor mencerminkan status sosial di masyarakat. Memiliki mobil pribadi menjadi tolok ukur kesuksesan dalam bekerja, terutama bagi para perantau.
4.      Penerapan Insentif dan Disinsentif Lalu Lintas (Masalah Penegakan Hukum),
Selama ini penyelenggaraan transportasi DKI Jakarta kurang menerapkan prinsip insentif dan disinsentif. Kalaupun prinsip ini telah ada dalam praktiknya tidak berjalan secara efektif (dan tidak konsisten).
Contoh pemberian insentif bagi masyarakat pengguna sarana angkutan umum bus Trans Jakarta dengan adanya jalur khusus bus (bus way). Namun pada saat peak hours terjadi antrian penumpang yang panjang, kondisi beberapa prasarana tidak terawat dan rusak, bahkan tingkat pelanggaran tehadap jalur khusus bus (bus way) tetap tinggi.
Kota Yogyakarta juga memiliki masalah kemacetan. Yogyakarta, merupakan salah satu kota yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami hal yang sama, kemacetan sudah menjadi hal yang biasa dijumpai di Yogyakarta. Hampir di ruas-ruas jalan utama kemacetan terjadi setiap saat mulai dari pagi hingga malam hari. Dan diperkirakan dalam waktu 15 tahun ke depan akan terjadi kemacetan parah apabila tidak segera ditangani dengan sungguh-sungguh. Banyak yang berusaha dilakukan untuk mengatasi kemacetan di kota Yogyakarta, antara lain seperti pemerintah yang menyediakan taman parkir Ngabean, terminal Jombor, dan sekitar Halte Trans Jogja Prambanan, akan tetapi penggunaannya belum dilakukan secara optimal sehingga perlu ditingkatkan lagi. Cara lainnya adalah dengan melakukan pelebaran jalan dan pengembalian fungsi jalan. Namun, usaha tersebut dirasa masih tidak seimbang dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor, terutama sepeda motor. Kemacetan terjadi karena banyak hal, salah satunya tidak disiplinnya para pengguna jalan. Ketidakdisiplinan ini sering merugikan pengguna jalan lainnya, karena biasanya mereka tidak bisa melaju lagi dan harus sering mengalah. Usaha yang bisa dilakukan untuk bisa seddikit mengurai kemacetan adalah dengan  melakukan perbaikan angkutan umum dapat menjadi salah satu cara guna mengatasi kemacetan yang terjadi. Perbaikan tentunya tidak hanya pada angkutan umum perkotaan, namun angkutan umum dalam provinsi juga harus diperbaiki dengan standar pelayanan minimal tertentu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar